CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG AYU

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG AYU


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG AYU, Hasrat-Bispak38 Seluruh orang didalamnya harus berusaha serta berkorban agar tak terdepak, serta tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun maknanya tidak sekedar itu. Denok  mempunyai arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yakni orang penari, dan seringkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti di saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang dikarenakan edan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang berduka sebab Bapak telah tak ada, tetapi juga kebingungan sebab sekian hari selesai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih broker judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami gak punyai tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, tandingan banyak. Selanjutnya sehabis lumayan lama melihat beragam peluang yang ada, Simbok memutus untuk menggunakan ketrampilan kami. Dengan modal kemeja dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau jalani tahun mula kuliah, serta yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat peroleh beberapa lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak enteng pun cari uang lewat langkah sebagai berikut, paling-paling yang kami temukan cukup untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya di hari itu. Dan tidak di semua tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang siap bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Seusai lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, berasal dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meskipun sering helai-lembar itu dikasihkan ke kami kurang santun umpamanya dengan diumpetkan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok memanglah menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi lumayan gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pula sejak dahulu terus membimbing serta memperingatkan saya buat menjaga badan meski dengan secara simpel, jadi walau sawo masak, kulit saya masih mulus serta tak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pula sich kalaupun disebut saya montok. Tidak tahu mengapa, meski rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya bisa saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus khawatir dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pula kuat karena sebab dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, walau atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus berasa tidak baik lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok segalanya ngomong saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga berbeda warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat jadi tebal. Bibir  diberikan gincu warna merah keren. Saya saat itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu buat suka yang lihat."


Lama-kelamaan saya biasa pula pakai dandanan begitu, justru saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari kejadian penganten, sesaat bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi benar-benar yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, bencana tiba kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya cemas, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak pula Simbok tidak ada impian, namun entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya memandangnya. Masa itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tak ingin tahu, biarkanlah itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penyemayaman, jadi perlu berutang kemanapun. Saya tidak dapat menyelenggarakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewaan saja sebab sangat berduka. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis dan saya  perlu temui beberapa tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kepelikan saya . Maka, satu minggu sehabis Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar gak nampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang miliki sewa. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak punyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya masalah untuk saya. Saya pengen usaha dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG AYU

Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan selepas dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana triknya agar kelak bila pulang telah miliki cukup uang buat bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Saat siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan sedang mengalkulasi segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu cuman mengenal beliau jadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta berada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya harus omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Hanya ngerinya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari untuk membayar sewaan. Bila berjualan, saya tidak punyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa tujuannya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya butuh uang, tetapi apa harus dengan secara seperti berikut? Namun kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak mempunyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi melihati lantai, tidak berani mengangkut kepala, tetapi kadang-kadang saya ngintip ke sana-kemari memandang kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang membuktikan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mengawasi sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian katakan,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya masih sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tak ingin ya udah," ujarnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada lelaki terang-terangan ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan diletakkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu serta lamban satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya serta menguak kain batik saya. Saya langsung mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa harusnya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun tidak tahu mengapa, saya pun kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan tak henti memandang sekujur badan saya, sembari memberikan pujian.


"Mari donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama